Senin, 01 Juli 2013

Panembahan Senopati, sebuah teladan

Meneladani Laku Panembahan Senopati

Di setiap bangsa pasti ada sosok dan tokoh yang menjadi panutan. Demikian pula dalam Kejawen. Banyak tokoh-tokoh Kejawen yang bisa menjadi panutan. Dalam Serat Wedhatama ini, tokoh yang menjadi panutan adalah Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati memiliki nama asli Danang Sutawijaya. Beliau adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah 1587-1601 dengan bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Mengapa tokoh Panembahan Senopati dianggap sebagai tokoh panutan?

Panembahan Senopati yang juga pendiri kerajaan Mataram Islam itu memiliki kegemaran melakukan tapa brata. Tiada hari tanpa lelaku. Karena kelebihan dan kesaktian yang dianugerahkan GUSTI ALLAH, Panembahan Senopati bisa melakukan semedi di tengah samudera. Nah, sekarang kita simak apa saja pesan dari Mangkunegara IV bagi kita untuk meneladani Panembahan Senopati? Simak Pupuh II (Sinom) dari Serat Wedhatama. 

PUPUH II

S I N O M

01

Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.

(Contohlah perbuatan yang sangat baik, bagi penduduk di tanah Jawa, dari seorang tokoh besar Mataram, Panembahan Senopati, berusaha dengan kesungguhan hatinya, mengendapkan hawa nafsu, dengan melakukan olah samadi, baik siang dan malam, mewujudkan perasaan senang hatinya bagi sesama insan hidup)

02
Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

(Saat berada dalam pertemuan, untuk memperbincangkan sesuatu hal dengan kerendahan hati, dan pada setiap kesempatan, di waktu yang luang mengembara untuk bertapa. Dalam mencapai cita-cita sesuai dengan kehendak kalbu, yang sangat didambakan bagi ketentraman hatinya. Dengan senantiasa berprihatin, dan memegang teguh pendiriannya menahan tidak makan dan tidak tidur.) 

03
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.

(Setiap kali pergi meninggalkan rumah (istana), untuk mengembara di tempat yang sunyi. Dengan tujuan meresapi setiap tingkatan ilmu, agar mengerti dengan sesungguhnya dan memahami akan maknanya, Ketajaman hatinya dimanfaatkan guna menempa jiwa, untuk mendapatkan budi pikiran yang tulus, Selanjutnya memeras kemampuan (acara untuk mengendalikan pemerintahan, dengan memegang teguh pada satu pedoman) agar mencintai sesama insan. (Pengerahan segenap daya olah semedi) dilakukannya di tepi samudra. Dalam semangat bertapanya, yang akhirnya mendapatkan anugerah Illahi, dan terlahir berkat keluhuran budi)

04
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

(Setelah mengetahui yang terkandung dalam samudra, dengan berjalan mengelilingi sekitarnya, merasakan kesungguhan yang terkandung di dalam hatinya. Untuk dapat digenggam, sehingga berhasil menjadi raja. Tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul keluar menjulang mencapai angkasa, mendekati datang menghadap dan memohon dengan suara halus, karena kalah wibawa dengan tokoh besar dari Mataram)

05
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan,  ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

((Kanjeng Ratu Kidul) memohon dengan sangat, untuk dapat mempererat hubungan dalam kedudukannya di alam ghaib. Pada saat sedang mengembara di tempat yang sunyi, ia selalu bersedia dan tidak akan ingkar janji, terhadap kehendak (Kanjeng Senopati) yang telah ditentukannya. Yang diharapkannya hanyalah memohon ridho-NYA berkat olah tapanya, meskipun harus bersusah payah membanting tulang.) 

06
Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.

((Kanjeng Ratu Kidul) berjanji dan berikrar, bahwa hingga keturunannya (Kanjeng Panembahan Senopati) kelak dikemudian hari. Demikianlah keturunan bangsawan besar, bila sedang menempa diri untuk mencapai kesempurnaan budi/batin. Tentu akan berhasil dan cepat terkabul, apa saja yang dikehendakinya. Tokoh besar Mataram, anugerahnya masih tampak hingga kini, Turun temurun keturunannya mulia dan berwibawa.)

07
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

(Yang memerintah di tanah Jawa menjadi raja, para ksatria yang melebihi daripada yang lain. Mereka tidak lain adalah keturunan Panembahan Senopati, yang pantas untuk dijadikan panutan dalam perbuatan baiknya. Disesuaikan dengan kemampuannya, pada keadaan yang akan datang. Sesungguhnya memang tidak akan dapat menyamai keadaan pada masa lalu.)

08
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mampir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

(Meskipun tidak memuaskan tapi masih lebih baik bila dibandingkan, dengan yang hidupnya tanpa laku prihatin. Namun pada jaman yang akan datang, yang digemari para anak muda, hanya sekedar meniru perbuatan Nabi. Rasulullah (yang ditetapkan oleh Tuhan) sebagai panutan dunia, selalu dijadikan sandaran menyombongkan diri. Setiap singgah ke masjid, mengharapkan mukjizat dapat derajat (kedudukan tinggi).)

09
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

(Terus menerus tiada hentinya mendalami masalah syari'at, tanpa mengetahui inti sarinya. Ketentuan yang dijadikan sandaran peraturan di dalam agama Islam. Serta suri tauladan dari masa lampau yang dapat dipergunakan untuk memperkuat suatu hukum, dengan bertingkah laku berlebihan di dalam masjid agung. Bila berkhotbah seperti sedang nembang Dhandhanggula, suaranya berkumandang mengalun dengan cengkok Palaran.)

10
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

(Bila engkau memaksakan diri meniru ajaran, yang dilaksanakan Kanjeng Nabi. Oh anakku! Terlalu jauh jangkauan langkahmu, dari dasar kepribadianmu tidak akan tahan uji, nak! Karena engkau adalah orang Jawa, sedikit saja sudah cukup. Janganlah berkeinginan mendapat pujian, lalu meniru perbuatan layaknya orang fakih. Asalkan engkau tekun dalam mengejar cita-citamu pasti akan mendapatkan rahmat pula.)

11
Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

(Alangkah baiknya mencari nafkah, karena telah ditakdirkan hidup miskin, lebih baik mengabdi pada raja, untuk bertani atau berdagang. Demikianlah menurut pendapatnya, dan menurut pendapat orang yang sangat bodoh, serta belum mengerti bahasa Arab. Sedangkan pengetahuan tentang bahasa Jawa saja tidak tamat, walaupun demikian tetap memaksakan diri mengajar anak-anaknya.)

12
Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

(Karena ketika masih muda dulu, walaupun hanya sebentar pernah mengalami perasaan tertarik pada soal agama. Bahkan berguru juga tentang ibadah haji, rahasianya yang menjadi pendorong utama terhadap maksud hati. Sangatlah takut pada ketentuan, yang berlaku pada akhir jaman kelak. Namun belajarnya belum sampai selesai telah terburu mengabdi, bahkan acapkali tidak sempat bersembahyang karena sudah dipanggil majikan.)

13
Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

((Menghadap) kepada orang yang memberi nafkah, bila terlalu lama datangnya pasti mendapat marah. Sehingga membuat kacau balau perasaan hati, layaknya kiamat setiap hari. Apakah berat kepada Tuhan atau rajanya. Tingkah perbuatannya menjadi ragu-ragu, lama kelamaan terpikir di dalam hati. Karena terlahir sebagai anak seorang terhormat, bila ingin menjadi penghulu tentulah tidak pantas.)

14
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.

(Demikian pula untuk menjadi khotib atau juru agama, juga tidak patut karena tidak punya wewenang jabatan tersebut. Lebih baik berpegang teguh, pada ketentuan kewajiban hidup. Menjalankan adat istiadat leluhur, sesuai dengan yang dijalankan oleh para leluhur, sejak jaman dahulu kala hingga kini. Keputusannya tidak lain hanyalah mencari nafkah hidup)

15
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara,  wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

(Salahnya sendiri jika tidak memerlukan sesuatu, yang patut menjadi pegangan hidup. Kehidupan yang patut dilengkapi dengan tiga macam syarat, ialah kekuasaan, harta, dan kepandaian. Bila sampai terjadi sama sekali tidak memiliki, salah satu dari tiga syarat tersebut, akhirnya akan menjadi orang yang tidak berguna, dan masih berharga daun jati yang sudah kering. Akhirnya hina papa menjadi pengemis, yang pergi tidak tentu arah tujuannya.)

16
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

(Yang telah arif bijaksana melaksanakannya, dalam merangkum tanda-tanda kebesaran Tuhan yang terdapat di alam semesta. Pada akhir inti jiwanya, akan tampak jelas tanpa dihalangi tabir. Maka jiwa pun terbuka dengan jelas, hingga tampak jelas dari jauh seluruh peredaran jaman. Hingga seolah-olah tidak terbatas dan bertepi. Demikianlah yang dapat dikatakan bertapa dengan cara berserah diri secara mutlak ke haribaan kebesaran Tuhan.)

17
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.

(Demikianlah insan yang telah mencapai tingkat utama, yang kebiasaannya menyatu di tempat yang sunyi. Serta setiap saat berulangkali mempertajam olah budinya, dan sikap lahiriyahnya tetap berpegang, pada ketentuan jiwa ksatrianya yang rendah hati. Serta tahu benar menyenangkan hati sesama insan, dan sudah tentu dapat dikatakan insan yang serba baik, serta senang sekali pada ajaran agama.)

18
Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

(Pada masa mendatang tidaklah demikian adanya, gejala yang timbul pada kawula mudanya. Bila mendapat petunjuk yang benar, sama sekali tidak mengindahkannya. Selalu menuruti kehendak hatinya sendiri, bahkan kakeknya pun hendak digurui. Dengan mengandalkan gurunya, seorang pandita pejabat kerajaan yang arif bijaksana, serta memahami benar tembang Pucung yang mengarah pada uraian ma'rifat.)

Minggu, 30 Juni 2013

MAKAM KYAI NUR IMAN (CUCU UNTUNG SUROPATI) DAN TERJADINYA DUSUN MLANGI

Keletakan
Makam Kyai Nur Iman terletak di Dusun Mlangi, Kalurahan Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY. Lokasi ini mudah dijangkau dari jalan Ring Road Utara Yogyakarta. Jarak lokasi dari jalan raya ring road kira-kira hanya 800 meter. Makam Kyai Nur Iman berada di belakang Masjid Jami Mlangi.
Kondisi Fisik
Makam Kyai Nur Iman ditutup dengan rana (tabir) kayu ukiran sistem krawangan (berlubang). Luas rana yang sekaligus berfungsi sebagai cungkup makam sekitar 2 m x 2,5 m. Makam
Latar Belakang
Keberadaan atau terjadinya Dusun Mlangi tidak lepas dari peran Kyai Nur Iman atau Bendara Pangeran Haryo Sandiyo. BPH. Sandiyo adalah salah satu putra dari Sunan Amangkurat Mas atau Sunan Amangkurat IV. BPH. Sandiyo juga merupakan adik tiri dari Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I).
Saat Mataram Kartasura di bawah kekuasaan Sunan Amangkurat II pihak Belanda mulai aktif terlibat dalam urusan intern Keraton Mataram. Semua bertolak dari permintaan Sunan Amangkurat untuk merebut kekuasaannya atas Mataram (sebagian besar Jawa) dari tangan Trunajaya yang berjaya menggulung Mataram Plered pada tahun 1677. Kontrak politik yang dilakukan Mataram dengan Belanda berakibat kerugian yang sangat besar bagi Mataram dan dinastinya.
Dukungan Kumpeni Belanda pada Pangeran Puger selaku adik Sunan Amangkurat II kian memperkeruh suasana Mataram. Akibatnya persaingan, perselisihan antarkeluarga semakin meruncing dan memanas. Saat Sunan Amangkurat III (Sunan Amangkurat Mas) bertahta, Kumpeni Belanda mendukung dan mengangkat Pangeran Puger menjadi raja. Akibatnya terjadi dua raja di Mataram saat itu. Akibat selanjutnya Sunan Paku Buwana I alias Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari tangan Sunan Amangkurat III. Sunan Amangkurat Mas terus diburu oleh Sunan Paku Buwana I yang dibantu Kumpeni Belanda. Akhirnya Sunan Amangkurat Mas ditangkap dan diasingkan ke Srilangka (Ceylon).
Dalam kemelut semacam itu ada salah seorang pangeran memilih lolos dari keraton dan pergi ke Jawa Timur (Brang Wetan). Pangeran tersebut bernama Pangeran Suryo Putro. Kepergiannya itu dipicu oleh rasa tidak sukanya pada Kumpeni Belanda yang telah mengobok-obok Mataram. Kepergian Pangeran Suryo Putro sampai di wilayah Gedangan, Surabaya. Di tempat ini ia menjadi santri dari Kyai Abdullah Muhsin. Di tempat ini pula ia menyembunyikan identitas aslinya dengan menganti namanya menjadi Muhammad Ihsan.
Ihsan ini kemudian dinikahkan dengan salah satu putri Adipati Wiranegara (untung Surapati) yang bernama Raden Ayu Susilowati. Kelak RA. Susilowati melahirkan seorang bayi laki-laki di Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Kyai Abdullah Muhsin. Bayi inilah yang kemudian diberi nama Raden Mas Sandiyo.
Pihak kerajaan pun akhirnya tahu jika salah satu keluarga Mataram ada yang menjadi santri di Gedangan. Oleh karena itu pihak Mataram meminta Pangeran Suryo Putro untuk kembali ke Mataram. Sesampai di Mataram Kartasura Pangeran Suryo Putro kemudian dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sunan Amangkurat IV atau Sunan Amangkurat Jawi (1719-1727).
Sementara itu setelah RM. Sandiyo alias Nur Iman dewasa ia kemudian menyiarkan agama Islam ke arah barat. Perjalanan dakwahnya dari Pondok Pesantren Gedangan ini disertai dua orang sahabatnya yang bernama Sanusi dan Tanmisani. Selain syiar agama ia juga diminta untuk mendirikan pondok pesantren di mana ia bertempat tinggal. Di sepanjang perjalanan itulah Nur Iman dan kedua sahabatnya berhasil mendirikan beberapa pondok pesantren. Di antaranya di Ponorogo dan Pacitan.
Ketika sampai di Mataram Kartasura Nur Iman dan dua sahabatnya diberi tanah atau tempat tinggal di Sukowati. Tidak berapa lama kemudian Mataram Kartasura dilanda perang saudara lagi yang melibatkan Pangeran Sambernyawa (Mangkunegara), Sunan Paku Buwana III, dan Pangeran Mangkubumi. Dalam keadaan yang kacau ini Nur Iman dan dua sahabatnya menyingkir dari keraton dan justru bergiat dalam dakwah agama Islam. Agama Islam pun berkembang pesat. Seiring dengan itu semangat patriotisme timbul di mana-mana. Terlebih-lebih akhirnya banyak rakyat yang tahu bahwa sumber perpecahan dan kekacauan Mataram di antaranya diakibatkan oleh campur tangan pihak Belanda dalam urusan intern Mataram.
Ketika Mataram telah pecah menjadi dua yakni Surakarta dan Yogyakarta, Kyai Nur Iman telah berada di wilayah Yogyakarta. Ketika kedua kerajaan itu telah tenang kembali Kyai Nur Iman pun dicari oleh Sultan Hamengku Buwana I. Setelah ketemu ia diminta untuk tinggal di keraton, namun tidak mau. Kyai Nur Iman lebih senang tingal di luar kraton untuk mengembangkan agama Islam. Akhirnya ia pun diberi tanah perdikan oleh Sultan Hamengku Buwana I. Di tanah perdikan itulah ia mendirikan masjid danm pondok pesantren. Oleh karena di tanah perdikan itu ia dikenal selalu mulangi atau memberikan pelajaran agama Islam, maka tanah perdikan tersebut kemudian dikenal dengan nama Dusun Mulangi. Dari kata mulangi itulah kemudian berubah menjadi mlangi. Nama Mlangi ini hingga sekarang lestari menjadi nama dusun.

Minggu, 10 Februari 2013

Untung Suropati , Trah Mataram yang dianggap keturunan Bali

Setelah melarikan diri dari benteng VOC di Batavia, Untung sempat berhubungan dengan guru spiritualnya Kyai Mas Besot di Depok, setelah mendapatkan gemblengan dari Syekh Lintung (Kyai Mas Besot), Untung meninggalkan Depok menuju ke Udug-udug di daerah Priangan Barat di mana tempat ini banyak didiami gerombolan pengacau yang telah banyak menimbulkan kerugian di kalangan penduduk. Untung dan pasukannya tidak begitu saja dapat diterima oleh pengacau-pengacau yang ada. Untung dianggap remeh’ oleh mereka. Walaupun demikian, Untung berusaha untuk dapat memanfaatkan kepetualangan mereka. Daripada merugikan dan meresahkan rakyat, lebih baik kalau dapat diarahkan untuk melawan Kompeni.Untuk dapat mewujudkan kehendak ini, maka Untung harus dapat menyatu dengan mereka. Ia juga harus menjadi petualang, walaupun ia tidak pernah mau mengganggu harta milik rakyat. Ia hanya butuh senjata dan makanan untuk anak buahnya.

Jumat, 08 Februari 2013

Babad Mangir, Kisah Ki Ageng Mangir yang Bias dan Misterius, Lebih tepat disebut Jebakan Sejarah.

Utari Sandijayaningsih : Trah Mangir ke 3.
Rausyan Fikri : Trah Mangir, di Tapos Depok
Siapakah penulis Babad Mangir ?, belum jelas. Kapan Babad Mangir ditulis ? kira kira muncul sesudah Perang Diponegoro ! (walaupun masih nggak jelas juga) apa tujuannya Babad Mangir ditulis ? , ya yang jelas mendiskreditkan keluarga jajaran keturunan Panembahan Senopati khususnya Kiprah Ki Juru Mertani atau Patih Mondoroko sebagai salah satu "waliuyullah" didikan Kanjeng Sunan Kalijogo . Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa Ki Juru Mertanilah tokoh utama dibalik Kematian Pangeran Ashabul atau Ario Penangsang, lalu pada Kematian Ki Ageng Mangir beliau juga disebut berperan besar, tendensi yang sangat jelas adalah Panembahan Senopati adalah tokoh "Penyebar Agama Islam" di tanah Jawa akan dihabisi kisahnya dengan menyusun sejarah tandingan yang sangat cermat, siapakah yang bisa menyusun sejarah baru itu, tak pelak bahwa penjajah Belanda itulah biangnya. Mereka mengerahkan segenap sejarahwannya untuk mengaburkan peran peran penting menjadi tidak penting atau peran tidak penting menjadi sangat penting. Keislaman Ki Ageng Mangir sangat penting , dakwah Ki Juru Mertani dan Roro Pembayun di Mangir sangat penting, perintah Panembahan Senopati untuk mengislamkan Mangir sangat penting, namun semua kisah itu tiba tiba hablur dan terhapus oleh sebuah Babad yang muncul pada masa perang Diponegoro, sama halnya dengan Perang Bubat yang sama sama ditulis pada jaman Perang Diponegoro juga dalam rangka menghambat pasukan Diponegoro masuk ke Jawa Barat. Sejarah itu bias dan harus dibaca secara mokal dan maton, apakah Ki Ageng Mangir itu begitu bodoh sehingga tidak tahu bahwa Roro Pembayun itu putri Panembahan Senopati atau Panembahan Senopati itu begitu bodoh hingga mengirimkan anak yang dicintainya ke sarang penjahat ataukah Ki Juru Mertani murid Sunan Kalijogo begitu bodoh menikahkan cucu kesayangannya dengan "non Muslim" ataukah kita yang terbodoh bodoh mengikuti cerita intrik kerajaan Mataram yang telah dibuat bias itu?

Rabu, 30 Januari 2013

Ki Ageng Mangir bukan dibunuh oleh Panembahan Senopati Mataram. Ia dibunuh dengan watu Gatheng,



1. Ki Ageng Mangir diislamkan oleh Ki Juru Mertani dan Roro Sekar Pembayun dalam misi dakwah tingkat tinggi dan demi kemaslahatan Mataram. Pengislaman Ki Ageng Mangir ini dibiaskan oleh beberapa pihak terutama pihak penjajah Belanda melalui para ahli sejarahnya, ini tidak aneh karena ada kepentingan penjajah untuk meredam karakter Panembahan Senopati sebagai salah satu wali penyebar Islam di Jawa. Sebagai contoh Babad Mangir sebagai sumber sejarah tak pernah diketahui siapa penulisnya, Tembok makam dimana (katanya) Mangir dimakamkan adalah dibangun di abad 18 pada saat pemerintahan Hamengkubuwono II /III , siapa yang menulis babad Mangir pastilah mengacu pada model makam yang berada dibawah tembok tersebut,  jadi babad Mangir disosialisasikan oleh penulisnya pada saat atau setelah perang Diponegoro, sama dengan kisah perang Bubat, kira kira antara tahun 1825 - 1835.

2. Gabungan tentara Mangir dibawah Ki Ageng Mangir dan tentara Mataram akan sangat memperkuat kejayaan Mataram, oleh karena itu adipati para penentang Mataram berkolaborasi menciptakan intrik politik untuk memecah kekuatan Mangir Mataram yang telah diikat oleh perkawinan Ki Ageng Mangir - Roro Pembayun. Mereka menggunakan tangan Raden Ronggo untuk menjadi mata mata sekaligus eksekutor bagi Ki Ageng Mangir, tokoh yang kisahnya sengaja dikaburkan.

3. Secara logika Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijaga, seorang waliyullah besar, Ki Juru Mertani pasti tak akan mengizinkan cucu keponakan kesayangannya menikah dengan seorang yang non Muslim. Panembahan Senopati sudah mengizinkan Ki Ageng Mangir menjadi menantu sekaligus sekutu Mataram yang sangat kuat. Saking dekatnya Ki Ageng Mangir diijinkan masuk kekamar pribadi Panembahan Senopati, ditempat pesalatan Panembahan Senopati, namun ada juga oknum lain yang bisa masuk ke kamar pribadi Senopati yaitu Raden Ronggo yang juga putra Panembahan Senopati,terpicu oleh berita kesaktian Mangir dan dengan sengaja mencobanya raden Ronggo menghantam Ki Ageng Mangir DENGAN WATU GATHENG dari belakang saat Ki Ageng Mangir sedang shalat, ki Ageng Mangir gugur dengan kepala pecah bersimbah darah, adakah yang lebih masuk akal dari cerita ini?

4.Akibat tewasnya Ki Ageng Mangir, Panembahan Senopati murka dan secara rahasia menyuruh beberapa orang kepercayaannya bersama Ki Patih Rogoniti adik ki Ageng Mangir membunuh Raden Ronggo diluar benteng Mataram, dalam suatu perkelahian yang fair Raden Ronggo tewas oleh tusukan tombak naga Baru Klinthing (dalam sejarahnya raden Ronggo wafat setelah melawan seekor Naga). Jejak dan makam Ki Patih Rojoniti tercatat di dusun Cangkring Srandakan Bantul termasuk makam keturunannya Kyai Muntahal di Patihan Srandakan Bantul yang menurunkan Lurah Kerto Pengalasan, salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro

5.Berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati disebarluaskan oleh para musuh Mataram dalam usaha mendiskreditkan reputasi Panembahan Senopati raja Mataram Islam sebagai orang yang kejam, suka ingkar janji, penuh tipu muslihat, padahal kejadian yang sebenarnya adalah sebuah upaya menutup-nutupi sejarah PENGISLAMAN KI AGENG MANGIR OLEH PEMBAYUN DAN KI JURU MERTANI ATAS PERINTAH RESMI PANEMBAHAN SENOPATI,

6.Watu Gilang bukan singgasana kerajaan, tetapi batu pipih tempat peshalatan, adalah aneh mendeskripsikan tempat shalat dan singgasana raja, tidak mungkin singgasana kerajaan berwujud batu pipih setinggi 30 cm, dan sangat tidak akal orang yang duduk bersila membunuh dengan cara membenturkan kepala ketempat duduknya, jadi Ki Ageng Mangir tidak pernah dibenturkan kepalanya disinggasana raja dihadapan para bupati.Oleh karena cerita ini sudah mengandung unsur unsur perpecahan maka oleh para Sejarahwan Belanda cerita ini tidak pernah dikutik-kutik, cerita ini serupa dengan kisah perang Bubat dan cerita adipati Ukur yang menyebabkan dendam sejarah antara suku Sunda dan Jawa yang tujuannya adalah jelas agar rakyat Sunda mendapat musuh abadi, kisah yang sama dipakai untuk mencegah pengaruh Diponegoro di Jawa Barat, modusnya adalah adu domba. Lalu kisah makam yang terbelah juga tidak masuk akal karena makam kotagedhe dibangun oleh kerabat Hamengkubuwono II dan III, bukan sejak Ki Ageng Mangir wafat

7. Sebagai pahlawan Mataram Roro Pembayun yang telah mengandung anak Ki Ageng Mangir , diungsikan ayahandanya ketempat kakeknya Ki Penjawi di bumi Pati, kelak anak itu lahir sebagai Ki Lurah Bagus Wanabaya yang bersama ibundanya sempat berguru kepada Pangeran Benawa bin Joko Tingkir di Kendal, putra Ki Ageng Mangir ini juga seorang veteran perang yang bertempur melawan VOC di Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso dan sahabatnya Ki Kartaran atau Ki Jepra (dimakamkan di Kebun Raya Bogor) selanjutnya ikut berperang dengan VOC Batavia sebagai komandan tentara Sandi Mataram di Batavia 1620 - 1629. Keberhasilan unitnya membunuh Jan Pieter Zoen Coen gubernur Jendral VOC dan mempersembahkan kepala JP Coen kehadapan Sultan Agung melalui Panembahan Juminah mampu menghentikan niat Sultan Agung menghajar kembali Batavia, dan memusatkan usahanya membangun kejayaan Mataram, terbukti hingga wafatnya Sultan Agung di tahun 1645, VOC Belanda tak pernah berani berperang dengan Mataram. Para Trah dan keluarga Mataram terus menerus melindungi dan memelihara silaturahmi dengan para keturunan Mangir yang bermuara pada Roro Pembayun. Pada kenyataannya para keturunan Ki Ageng Mangir banyak berperan dalam membantu eksistensi kerajaan Mataram pada abad berikutnya, bahkan sampai abad modern ini,

8. Bahwa peninggalan Ki Ageng Mangir di Mangiran berupa lingga yoni, candi dan sebagainya tidak serta merta menyatakan bahwa Ki Ageng Mangir masih Hindu setelah menjadi menantu Panembahan Senopati, Sebab seperti kebanyakan keturunan Prabu Brawijaya Ki Ageng Mangir akhirnya masuk Islam, hanya kenapa keislaman Mangir ini ditutup tutupi oleh cerita sejarah yang cenderung tendensius menyudutkan Panembahan Senopati sebagai raja Islam Mataram pertama diwilayah Jawa Tengah bagian selatan. Pertanyaan inilah yang harus kita jawab, ada apa dengan upaya menutup - nutupi pengislaman mangir di abad 17 ini dengan sebuah babad karangan anonim ?

9. Trah Mangir mempunyai ciri ciri yang ambigu atau mendua namun selalu mengambil jalan keras saat memutuskan untuk bertindak, ciri trah juga selalu menjadi tokoh pemberontak yang teguh dan kemampuan olah pikir atau olah seni yang sangat mumpuni : lihat saja jejak Trah Mangir seperti Untung Suropati, Pramudya Ananta Tur, Raden Saleh,  SM.Kartosuwiryo atau bahkan Basuki Abdullah yang meninggal secara tragis ditikam seorang maling amatir yang kepergok Basuki Abdullah saat mencuri dirumah pelukis ternama itu, kebanyakan Trah mencantumkan nama nama bangsawan atau pahlawan sebagai kebanggan, trah Mangir menyembunyikan perjuangan dan jatidiri , persis seperti pengorbanan Ki Ageng Mangir.

Kamis, 24 Januari 2013

Ki Ageng Mangir Wanabaya - Pembayun , Jejak Pahlawan di Kali Sunter Tapos Depok

Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah suami Kanjeng Roro Sekar Pembayun, putri Panembahan Senopati ing Mataram, perkawinan tunggalnya menghadirkan putra ki Bagus Wanabaya yang lahir di Pati Jawa Tengah pada tahun 1588, Bagus Wanabaya bersama ibunya sempat berguru pada Pangeran Benawa otra Joko Tingkir diwilayah Kendal Jawa tengah. Pada tahun 1818 bagus Wanabaya bertempur dipihak Mataram dibawah pimpinan Ki Bahurekso melawan Pos VOC di Jepara Jawa Tengah, pertempuran Jepara tersebut dimenangkan oleh pihak Mataram. Selanjutnya Ki bagus Wanabaya bersama keluarga besar Kanjeng Roro Sekar Pembayun hijrah ke Pajajaran untuk bertemu dengan orangtua Nyimas Linggar Jati istri Ki Bagus Wanabaya, adik dari sahabat karibnya yaitu Purwagalih atau disebut Ki Jepra (jenazahnya dimakamkan didalam Kebon Raya Bogor Jabar) selanjutnya karena mereka sudah berkomitment untuk membangun jaringan intelejen mataram di Batavia rombongan veteran Perang Jepara 1618 itu kembali menduduki pos di wilayah Banjaran Pucung Cilangkap Tapos Depok tepat di mata air Kali Sunter, mereka mendirikan basis gerilya dengan bimbingan Pangeran Jayakarta yang saat itu berkedudukan di Batavia diwilayah Jatinegara. Ki Bagus Wanabaya memimpin sekitar 80 tentara Mataram yang merupakan pasukan khusus yang bergerak dalam wilayah Benteng Batavia, merekalah pasukan Pandu Mataram yang kelak mempunyai peranan penting saat Sultan Agung menyerang Batavia di tahun 1628 - 1629. Sayangnya Kanjeng Roro Pembayun tak bisa menikmati buah kemenangan Mataram, beliau meninggal di Jatinegara 1625 tertembak pasukan VOC yang sedang menyerbu Pos Pangeran Jayakarta. Jenazahnya dimakamkan di Keramat Kebayunan Tapos Depok. Pada tanggal 20 September 1629 Nyimas Utari Sandijayaningsih, putri Bagus Wanabaya yang menyamar sebagai penyanyi cafe Batavia berhasil menjebak Jaan Pieters Soen Coen kedalam kamar pribadinya dan malam itu Yaan Pieter Soen Coen gubernur jendral VOC terbunuh . Dalam laporan resmi VOC JP Coen wafat akibat penyakit kholera pada tanggal 21 September 1629 kedudukannya digantikan oleh gubernur jendral Jaques Specx. Pasukan sandi khusus Mataram yang berhasil membunuh JP Coen membawa kepala JP Coen untuk diserahkan kepada Panembahan Juminah sebagai Jendral Mataram di Batavia, keberhasilan ini membuat Sultan Agung menerima saran Panembahan Juminah untuk menghentikan serbuan Mataram ke Batavia. Walaupun tak ada jasa bagi Ki Bagus Wanabaya dan keluarganya atas semua jerih payah perjuangan di benteng VOC, namun ia masih tetap berjuang hingga wafat dan dimakamkan di dekat ibunya di Kebayunan Tapos Depok,

Roro Sekar Pembayun Istri Ki Ageng Mangir , Pahlawan Mataram yang menjadi sesepuh Tapos Depok Jawa Barat.

Roro Pembayun adalah buah hati dan kesayangan Kanjeng Panembahan Senopati Mataram, Perjuangannya meruntuhkan hati Ki Ageng Mangir dan menjadikan Mangir sebagai kekuatan baru di Mataram membuat para adipati yang memberontak pada Mataram kuatir dan menyusun kekuatan dalam istana Mataram di Kotagedhe untuk membunuh Ki Ageng Mangir, dan itu bisa terlaksana oleh kesaktian Raden Ronggo putra Panembahan Senopati yang lain, Ki Ageng Mangir wafat di tempat Panembahan Senopati biasa shalat, ya diatas watu gilang (yang bukan singgasana raja) lah tempat wafatnya Ki Ageng Mangir. Watu Gatheng sebagai alat bukti sampai sekarang masih terlihat disamping Watu Gilang . Meski suami tercintanya telah meninggal Roro Pembayun adalah sosok pejuang wanita yang tak kenal menyerah, dibesarkannya sang anak semata wayang Bagus Wonoboyo di bumi padepokan Benawa putra Joko Tingkir di Kendal Jawa Tengah, berjuang melawan VOC Belanda di palagan Jepara 1618 dan bersamanya ikut berjuang di palagan Matraman Jatinegara bersama dengan Pangeran Jayakarta sampai wafatnya di Jatinegara pada tahun 1625, kini jenazahnya dimakamkan di Kramat Kebayunan Tapos Depok. Tepat dipinggir jalan Tol Jagorawi di pintu keluar Cimanggis, Jejak sedih pahlawan wanita yang berjuang dan bertempur jauh dari tempat kelahirannya.