Rabu, 30 Januari 2013

Ki Ageng Mangir bukan dibunuh oleh Panembahan Senopati Mataram. Ia dibunuh dengan watu Gatheng,



1. Ki Ageng Mangir diislamkan oleh Ki Juru Mertani dan Roro Sekar Pembayun dalam misi dakwah tingkat tinggi dan demi kemaslahatan Mataram. Pengislaman Ki Ageng Mangir ini dibiaskan oleh beberapa pihak terutama pihak penjajah Belanda melalui para ahli sejarahnya, ini tidak aneh karena ada kepentingan penjajah untuk meredam karakter Panembahan Senopati sebagai salah satu wali penyebar Islam di Jawa. Sebagai contoh Babad Mangir sebagai sumber sejarah tak pernah diketahui siapa penulisnya, Tembok makam dimana (katanya) Mangir dimakamkan adalah dibangun di abad 18 pada saat pemerintahan Hamengkubuwono II /III , siapa yang menulis babad Mangir pastilah mengacu pada model makam yang berada dibawah tembok tersebut,  jadi babad Mangir disosialisasikan oleh penulisnya pada saat atau setelah perang Diponegoro, sama dengan kisah perang Bubat, kira kira antara tahun 1825 - 1835.

2. Gabungan tentara Mangir dibawah Ki Ageng Mangir dan tentara Mataram akan sangat memperkuat kejayaan Mataram, oleh karena itu adipati para penentang Mataram berkolaborasi menciptakan intrik politik untuk memecah kekuatan Mangir Mataram yang telah diikat oleh perkawinan Ki Ageng Mangir - Roro Pembayun. Mereka menggunakan tangan Raden Ronggo untuk menjadi mata mata sekaligus eksekutor bagi Ki Ageng Mangir, tokoh yang kisahnya sengaja dikaburkan.

3. Secara logika Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijaga, seorang waliyullah besar, Ki Juru Mertani pasti tak akan mengizinkan cucu keponakan kesayangannya menikah dengan seorang yang non Muslim. Panembahan Senopati sudah mengizinkan Ki Ageng Mangir menjadi menantu sekaligus sekutu Mataram yang sangat kuat. Saking dekatnya Ki Ageng Mangir diijinkan masuk kekamar pribadi Panembahan Senopati, ditempat pesalatan Panembahan Senopati, namun ada juga oknum lain yang bisa masuk ke kamar pribadi Senopati yaitu Raden Ronggo yang juga putra Panembahan Senopati,terpicu oleh berita kesaktian Mangir dan dengan sengaja mencobanya raden Ronggo menghantam Ki Ageng Mangir DENGAN WATU GATHENG dari belakang saat Ki Ageng Mangir sedang shalat, ki Ageng Mangir gugur dengan kepala pecah bersimbah darah, adakah yang lebih masuk akal dari cerita ini?

4.Akibat tewasnya Ki Ageng Mangir, Panembahan Senopati murka dan secara rahasia menyuruh beberapa orang kepercayaannya bersama Ki Patih Rogoniti adik ki Ageng Mangir membunuh Raden Ronggo diluar benteng Mataram, dalam suatu perkelahian yang fair Raden Ronggo tewas oleh tusukan tombak naga Baru Klinthing (dalam sejarahnya raden Ronggo wafat setelah melawan seekor Naga). Jejak dan makam Ki Patih Rojoniti tercatat di dusun Cangkring Srandakan Bantul termasuk makam keturunannya Kyai Muntahal di Patihan Srandakan Bantul yang menurunkan Lurah Kerto Pengalasan, salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro

5.Berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati disebarluaskan oleh para musuh Mataram dalam usaha mendiskreditkan reputasi Panembahan Senopati raja Mataram Islam sebagai orang yang kejam, suka ingkar janji, penuh tipu muslihat, padahal kejadian yang sebenarnya adalah sebuah upaya menutup-nutupi sejarah PENGISLAMAN KI AGENG MANGIR OLEH PEMBAYUN DAN KI JURU MERTANI ATAS PERINTAH RESMI PANEMBAHAN SENOPATI,

6.Watu Gilang bukan singgasana kerajaan, tetapi batu pipih tempat peshalatan, adalah aneh mendeskripsikan tempat shalat dan singgasana raja, tidak mungkin singgasana kerajaan berwujud batu pipih setinggi 30 cm, dan sangat tidak akal orang yang duduk bersila membunuh dengan cara membenturkan kepala ketempat duduknya, jadi Ki Ageng Mangir tidak pernah dibenturkan kepalanya disinggasana raja dihadapan para bupati.Oleh karena cerita ini sudah mengandung unsur unsur perpecahan maka oleh para Sejarahwan Belanda cerita ini tidak pernah dikutik-kutik, cerita ini serupa dengan kisah perang Bubat dan cerita adipati Ukur yang menyebabkan dendam sejarah antara suku Sunda dan Jawa yang tujuannya adalah jelas agar rakyat Sunda mendapat musuh abadi, kisah yang sama dipakai untuk mencegah pengaruh Diponegoro di Jawa Barat, modusnya adalah adu domba. Lalu kisah makam yang terbelah juga tidak masuk akal karena makam kotagedhe dibangun oleh kerabat Hamengkubuwono II dan III, bukan sejak Ki Ageng Mangir wafat

7. Sebagai pahlawan Mataram Roro Pembayun yang telah mengandung anak Ki Ageng Mangir , diungsikan ayahandanya ketempat kakeknya Ki Penjawi di bumi Pati, kelak anak itu lahir sebagai Ki Lurah Bagus Wanabaya yang bersama ibundanya sempat berguru kepada Pangeran Benawa bin Joko Tingkir di Kendal, putra Ki Ageng Mangir ini juga seorang veteran perang yang bertempur melawan VOC di Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso dan sahabatnya Ki Kartaran atau Ki Jepra (dimakamkan di Kebun Raya Bogor) selanjutnya ikut berperang dengan VOC Batavia sebagai komandan tentara Sandi Mataram di Batavia 1620 - 1629. Keberhasilan unitnya membunuh Jan Pieter Zoen Coen gubernur Jendral VOC dan mempersembahkan kepala JP Coen kehadapan Sultan Agung melalui Panembahan Juminah mampu menghentikan niat Sultan Agung menghajar kembali Batavia, dan memusatkan usahanya membangun kejayaan Mataram, terbukti hingga wafatnya Sultan Agung di tahun 1645, VOC Belanda tak pernah berani berperang dengan Mataram. Para Trah dan keluarga Mataram terus menerus melindungi dan memelihara silaturahmi dengan para keturunan Mangir yang bermuara pada Roro Pembayun. Pada kenyataannya para keturunan Ki Ageng Mangir banyak berperan dalam membantu eksistensi kerajaan Mataram pada abad berikutnya, bahkan sampai abad modern ini,

8. Bahwa peninggalan Ki Ageng Mangir di Mangiran berupa lingga yoni, candi dan sebagainya tidak serta merta menyatakan bahwa Ki Ageng Mangir masih Hindu setelah menjadi menantu Panembahan Senopati, Sebab seperti kebanyakan keturunan Prabu Brawijaya Ki Ageng Mangir akhirnya masuk Islam, hanya kenapa keislaman Mangir ini ditutup tutupi oleh cerita sejarah yang cenderung tendensius menyudutkan Panembahan Senopati sebagai raja Islam Mataram pertama diwilayah Jawa Tengah bagian selatan. Pertanyaan inilah yang harus kita jawab, ada apa dengan upaya menutup - nutupi pengislaman mangir di abad 17 ini dengan sebuah babad karangan anonim ?

9. Trah Mangir mempunyai ciri ciri yang ambigu atau mendua namun selalu mengambil jalan keras saat memutuskan untuk bertindak, ciri trah juga selalu menjadi tokoh pemberontak yang teguh dan kemampuan olah pikir atau olah seni yang sangat mumpuni : lihat saja jejak Trah Mangir seperti Untung Suropati, Pramudya Ananta Tur, Raden Saleh,  SM.Kartosuwiryo atau bahkan Basuki Abdullah yang meninggal secara tragis ditikam seorang maling amatir yang kepergok Basuki Abdullah saat mencuri dirumah pelukis ternama itu, kebanyakan Trah mencantumkan nama nama bangsawan atau pahlawan sebagai kebanggan, trah Mangir menyembunyikan perjuangan dan jatidiri , persis seperti pengorbanan Ki Ageng Mangir.

Kamis, 24 Januari 2013

Ki Ageng Mangir Wanabaya - Pembayun , Jejak Pahlawan di Kali Sunter Tapos Depok

Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah suami Kanjeng Roro Sekar Pembayun, putri Panembahan Senopati ing Mataram, perkawinan tunggalnya menghadirkan putra ki Bagus Wanabaya yang lahir di Pati Jawa Tengah pada tahun 1588, Bagus Wanabaya bersama ibunya sempat berguru pada Pangeran Benawa otra Joko Tingkir diwilayah Kendal Jawa tengah. Pada tahun 1818 bagus Wanabaya bertempur dipihak Mataram dibawah pimpinan Ki Bahurekso melawan Pos VOC di Jepara Jawa Tengah, pertempuran Jepara tersebut dimenangkan oleh pihak Mataram. Selanjutnya Ki bagus Wanabaya bersama keluarga besar Kanjeng Roro Sekar Pembayun hijrah ke Pajajaran untuk bertemu dengan orangtua Nyimas Linggar Jati istri Ki Bagus Wanabaya, adik dari sahabat karibnya yaitu Purwagalih atau disebut Ki Jepra (jenazahnya dimakamkan didalam Kebon Raya Bogor Jabar) selanjutnya karena mereka sudah berkomitment untuk membangun jaringan intelejen mataram di Batavia rombongan veteran Perang Jepara 1618 itu kembali menduduki pos di wilayah Banjaran Pucung Cilangkap Tapos Depok tepat di mata air Kali Sunter, mereka mendirikan basis gerilya dengan bimbingan Pangeran Jayakarta yang saat itu berkedudukan di Batavia diwilayah Jatinegara. Ki Bagus Wanabaya memimpin sekitar 80 tentara Mataram yang merupakan pasukan khusus yang bergerak dalam wilayah Benteng Batavia, merekalah pasukan Pandu Mataram yang kelak mempunyai peranan penting saat Sultan Agung menyerang Batavia di tahun 1628 - 1629. Sayangnya Kanjeng Roro Pembayun tak bisa menikmati buah kemenangan Mataram, beliau meninggal di Jatinegara 1625 tertembak pasukan VOC yang sedang menyerbu Pos Pangeran Jayakarta. Jenazahnya dimakamkan di Keramat Kebayunan Tapos Depok. Pada tanggal 20 September 1629 Nyimas Utari Sandijayaningsih, putri Bagus Wanabaya yang menyamar sebagai penyanyi cafe Batavia berhasil menjebak Jaan Pieters Soen Coen kedalam kamar pribadinya dan malam itu Yaan Pieter Soen Coen gubernur jendral VOC terbunuh . Dalam laporan resmi VOC JP Coen wafat akibat penyakit kholera pada tanggal 21 September 1629 kedudukannya digantikan oleh gubernur jendral Jaques Specx. Pasukan sandi khusus Mataram yang berhasil membunuh JP Coen membawa kepala JP Coen untuk diserahkan kepada Panembahan Juminah sebagai Jendral Mataram di Batavia, keberhasilan ini membuat Sultan Agung menerima saran Panembahan Juminah untuk menghentikan serbuan Mataram ke Batavia. Walaupun tak ada jasa bagi Ki Bagus Wanabaya dan keluarganya atas semua jerih payah perjuangan di benteng VOC, namun ia masih tetap berjuang hingga wafat dan dimakamkan di dekat ibunya di Kebayunan Tapos Depok,

Roro Sekar Pembayun Istri Ki Ageng Mangir , Pahlawan Mataram yang menjadi sesepuh Tapos Depok Jawa Barat.

Roro Pembayun adalah buah hati dan kesayangan Kanjeng Panembahan Senopati Mataram, Perjuangannya meruntuhkan hati Ki Ageng Mangir dan menjadikan Mangir sebagai kekuatan baru di Mataram membuat para adipati yang memberontak pada Mataram kuatir dan menyusun kekuatan dalam istana Mataram di Kotagedhe untuk membunuh Ki Ageng Mangir, dan itu bisa terlaksana oleh kesaktian Raden Ronggo putra Panembahan Senopati yang lain, Ki Ageng Mangir wafat di tempat Panembahan Senopati biasa shalat, ya diatas watu gilang (yang bukan singgasana raja) lah tempat wafatnya Ki Ageng Mangir. Watu Gatheng sebagai alat bukti sampai sekarang masih terlihat disamping Watu Gilang . Meski suami tercintanya telah meninggal Roro Pembayun adalah sosok pejuang wanita yang tak kenal menyerah, dibesarkannya sang anak semata wayang Bagus Wonoboyo di bumi padepokan Benawa putra Joko Tingkir di Kendal Jawa Tengah, berjuang melawan VOC Belanda di palagan Jepara 1618 dan bersamanya ikut berjuang di palagan Matraman Jatinegara bersama dengan Pangeran Jayakarta sampai wafatnya di Jatinegara pada tahun 1625, kini jenazahnya dimakamkan di Kramat Kebayunan Tapos Depok. Tepat dipinggir jalan Tol Jagorawi di pintu keluar Cimanggis, Jejak sedih pahlawan wanita yang berjuang dan bertempur jauh dari tempat kelahirannya.

Ki Ageng Mangir - Pembayun, Cucunya tentara Sandi Pembunuh Gubernur Jendral VOC JP Coen di tahun 1629

Suasana Komplek makam Nyimas Utari Sandijayaningsih, anggota pasukan khusus Mataram 1629 yang bergerak didalam benteng VOC Batavia, putri Ki Bagus Wanabaya putra Ki Ageng Mangir dan Roro Pembayun ini adalah pahlawan wanita Mataram yang membunuh dan memenggal kepala Jan Pieters Zoen Coen, Gubernur Jendral VOC ke IV dalam perang Batavia Mataram 1628 -1629. keberadaanya sebagai tentara telik sandi Mataram membuat peranan pentingnya sebagai salah satu penentu sejarah perang Mataram - Batavia tak pernah terungkap Lokasi makam Nyimas Utari Sandijayaningsih berada di Kampung Tapos kec. Tapos Depok Jawa Barat. persis di pinggir jalan Tol Jagorawi pintu Cisalak - Cimanggis.

Selasa, 01 Januari 2013

Mahesa Jenar, Sosok Pahlawan yang rendah hati

Di sebuah tempat di lereng Gunung Merapi dipercaya sebagai tempat bertemunya tiga tokoh, Kebo Kanigara, Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging – ayah Joko Tingkir), dan seorang prajurit Demak bernama Rangga Tohjaya.Dalam sebuah cerita silat populer yang berjudul Nagasasra dan Sabuk Inten, karangan S.H Mintardja, Mahesa Jenar menjadi tokoh utamanya. Dalam cerita tersebut, Mahesa Jenar merupakan murid Pangeran Handayaningrat, bersama-sama dengan Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Kemudian dalam cerita yang berseting pada masa keemasan Kerajaan Demak ini, Mahesa Jenar mengabdikan diri sebagai prajurit di Demak. Sebagai prajurit ia berjasa dalam mengamankan dua keris pusaka, Keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang dicuri oleh penjahat terkenal bernama Lawa Ijo dari Alas Mentaok (Kotagede). Atas jasa itu ia memperoleh gelar keprajuritan dengan sebutan Rangga Tohjaya. Pada suatu kali ia berkelana, dan menggunakan nama Manahan.

Trah Mangir : Hafidz Ammar anakku, Tidak Gampang Menjadi Pemimpin


Pemimpin bukanlah orang sembarangan, atau sembarang orang. Pemimpin harus mampu menjadi sosok yang bisa dijadikan teladan bagi rakyatnya ataupun keluarganya. Maka, dalam sejarah perkembangan Jawa, sosok pemimpin tidak hanya dipilih oleh manusia, tetapi juga merupakan pilihan leluhur-leluhur yang berupa pangestu, ataupun wahyu (bukan wahyu yang sama seperti yang diterima oleh Nabi dan Rosul). Dengan demikian, orang tersebut pastilah telah lulus ujian yang diberikan oleh manusia, dan tentunya ujian Tuhan dengan perantara leluhur-leluhur masa lalu. Hal ini berarti dua sisi kemanusiaannya, spiritual dan jasmaninya telah lulus dari serangkaian uji coba atau serangkaian ujian.