Di sebuah tempat di lereng Gunung Merapi dipercaya sebagai tempat bertemunya tiga tokoh, Kebo Kanigara, Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging – ayah Joko Tingkir), dan seorang prajurit Demak bernama Rangga Tohjaya.Dalam sebuah cerita silat populer yang berjudul Nagasasra dan Sabuk Inten, karangan S.H Mintardja, Mahesa Jenar menjadi tokoh utamanya. Dalam cerita tersebut, Mahesa Jenar merupakan murid Pangeran Handayaningrat, bersama-sama dengan Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Kemudian dalam cerita yang berseting pada masa keemasan Kerajaan Demak ini, Mahesa Jenar mengabdikan diri sebagai prajurit di Demak. Sebagai prajurit ia berjasa dalam mengamankan dua keris pusaka, Keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang dicuri oleh penjahat terkenal bernama Lawa Ijo dari Alas Mentaok (Kotagede). Atas jasa itu ia memperoleh gelar keprajuritan dengan sebutan Rangga Tohjaya. Pada suatu kali ia berkelana, dan menggunakan nama Manahan.
Itulah sekilas mengenai kisah seorang tokoh bernama Mahesa Jenar, yang selama beberapa waktu menjadi topik yang cukup hangat mengenai keberadaannya, yang oleh beberapa kalangan merupakan tokoh nyata yang benar-benar hidup di masa lalu, sementara oleh kelompok lain, Mahesa Jenar hanyalah tokoh murni karangan belaka.
Sebenarnya, apa yang menjadikan tokoh ini sangat terkenal sekaligus kontroversial adalah tidak terlepas dari pengarang, yaitu S.H Mintardja, yang dengan piawai meramu peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, dan tempat-tempat yang benar-benar ada, dengan peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, dan tempat-tempat fiksi menjadi sebuah jalan cerita yang utuh. Pada saat itu, di Jawa agama Islam sedang berkembang, dan salah satu yang paling dikenang pada saat itu adalah konflik antara Wali Songo dan Syeh Siti Jenar. Cerdiknya, S.H Mintardja tidak mengambil tema itu sebagai kisah utama (karena S.H Mintardja adalah non-muslim, sehingga ia mengetahui keterbatasannya jika ia menggunakan tema itu), tapi mengambil tema lain sebagai permasalahan utama, yaitu tentang dua keris pusaka Tanah Jawa. S.H Mintardja mengetahui benar bahwa konon kerajaan di Jawa harus mempunyai dua keris itu jika ingin kerajaannya maju.
Dua keris tersebut (benar-benar ada, sekarang tersimpan di Kraton Surakarta), merupakan sipat kandel (pusaka) bagi siapapun yang ingin menjadi raja di Tanah Jawa, ditambah satu buah keris bernama Keris Kiai Sangkelat (juga benar-benar ada, dibuat pada masa Kerajaan Majapahit). Maka dibuatlah tema dengan keris-keris tersebut sebagai pusat permasalahan.
Yang membuat cerita ini sangat populer adalah karakteristik sang tokoh utama, Mahesa Jenar, yang benar-benar menggambarkan sosok manusia Jawa tulen. Ia tak tergoda dengan gemerlap kraton, dan memilih keluar dari Kraton Demak, dan berkelana. Ia benar-benar sosok manusia tanpa pamrih, dan lebih suka mengalah meskipun ilmu silatnya cukup tinggi. Pendiriannya teguh, tak mudah berubah jika telah menyinggung tentang kebenaran. Ia akan membela tanpa rasa takut. Namun sebagai seorang manusia, khususnya sebagai laki-laki, ia tak bisa berbuat banyak di hadapan seorang wanita, bahkan cenderung sangat menghargai wanita. Hal itulah yang membuat Mahesa Jenar sangat populer di kalangan masyarakat.
Selain itu, tokoh-tokoh yang ada di cerita ini sangat kontras antara tokoh baik dan tokoh jahat. Lawa Ijo, Sima Rodra, Pasingsingan, Jaka Soka, merupakan beberapa tokoh jahat. Sementara Mahesa Jenar, Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana adalah beberapa tokoh baik.
Inilah beberapa tokoh yang benar-benar ada di masa lalu yang mengambil peran di kisah ini: Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh – kakek Jaka Tingkir), Kebo Kanigara (putra pertama Pangeran Handayaningrat yang menjadi pertapa), Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging – murid Syeh Siti Jenar dan ayah Jaka Tingkir), Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis, Sultan Trenggana (Sultan Demak), Pangeran Timur, Sambernyawa, Sunan Prawata, dan Jaka Tingkir.
Sementara tokoh-tokoh fiksi adalah: Mahesa Jenar, Lawa Ijo, Jaka Soka, Nagapasa, Pasingsingan, Radite, Anggara, Arya Salaka, Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora, Rara Wilis, Mantingan, dll.
Terlepas dari perdebatan antara fiksi atau fakta, tokoh Mahesa Jenar ini telah menjelma menjadi sosok impian masyarakat Jawa, yang benar-benar berjuang tanpa pamrih, lebih memilih menyingkir dan tidak dikenal daripada berdiam di Kraton Demak dengan segala gemerlapnya. Kisah fenomenal ini bahkan telah mempunyai soundtrack-nya sendiri, yang diyanyikan oleh maestro keroncong, Waldjinah, dengan judul Mahesa Jenar. Lirik lagu tersebut sangat menggambarkan sosok Mahesa Jenar yang berjuang tanpa pamrih mencari pusaka kerajaan yang menghilang. Inilah lirik lagu yang berjudul Mahesa Jenar:
Kaloking ra pilih tanding (Tersebutlah satriya pilih tanding)
Mahesa Jenar satriya ing Pengging (Mahesa Jenar ksatria dari Pengging)
Satriya didya lelana ngupaya (Ksatria yang berkelana mencari)
Sabuk Inten Nagasasra (Sabuk Intend an Nagasasra)
Tansah marbrengga bebaya (Selalu menempuh bahaya)
Mahesa Jenar bekti ing Negara (Mahesa Jenar berbakti pada negara)
Mandhap jurang nasak wana wasa (Menuruni jurang menembus hutan)
Kayungyun hyuwananing rasa (Terobsesi pada keinginan abadi)
Para kang ambeg angkara (Orang-orang yang jahat)
Memalangi, sedya utama (Selalu menghalanginya)
Nanging pinesthi lebur musna (Akan tetapi selalu kalah)
Ketiban aji Sasra Birawa (Karena ajian Sasra Birawa)
Nora pamrih kalenggahan (Tak menginginkan kedudukan)
Mahesa Jenar wani kataniris (Mahesa Jenar hidup prihatin)
Ngronce atining asmara kalawan (Menemukan tambatan hatinya kepada)
Wong ayu Dyah Rara Wilis (Gadis manis bernama Dyah Rara Wilis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar