Dengan begitu, pemimpin tersebut akan mampu bertindak sesuai dengan porsinya, seimbang antara spiritual dan ragawi, sehingga tindakannya senantiasa adil. Banyak sekali standar pemimpin yang baik yang dikenal oleh masyarakat Jawa, seperti Panca Dasa Parateming Prabu, ataupun juga sifat kepemimpinan Gajah Mada, dll. Di bawah ini merupakan sifat pemimpin yang baik (Dr. Purwadi, dalam tulisannya yang berjudul “Pemikiran Futurologis Kejawen Dalam Jangka Jayabaya” - Jurnal Kejawen Edisi III tahun II/September 2007 – Yogyakarta: UNY):
Paricaga (Rela Berkorban)
Sifat ini sangat penting sehingga tidak salah jika dijadikan pembuka dari keseluruhan sifat-sifat pemimpin. Pemimpin harus rela berkorban bagi rakyatnya, yang sayangnya sulit dijumpai pada pemimpin pada masa sekarang.
Ajava (Berhati Tulus)
Sifat ini sulit sekali ditemui karena hampir tidak ada manusia yang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Pada masa modern saat ini yang bisa berkorban tanpa pamrih adalah para ibu yang berjuang melahirkan putra-putrinya dengan taruhan nyawa. Ibu, Ibu, Ibu.
Dana (Beramal)
Dana disini bukan berarti uang, karena dana disini bukan sebuah kata dalam bahasa Indonesia. Dana disini lebih ditekankan kepada beramal. Pemimpin harus rela berkorban secara tulus untuk beramal, entah itu berupa uang ataupun bantuan yang lainnya.
Tapa (Sederhana)
Nah, ini mungkin yang sulit dilakukan oleh kebanyakan manusia modern di Indonesia saat ini. Adaptasi budaya asing yang sangat konsumtif dan gumunan, menjadikan masyarakat Indonesia sulit sekali untuk menjadi orang yang sederhana. Perilaku bermewah-mewahan sangat jelas terlihat dari masyarakat Indonesia, hampir seluruh golongan masyarakat.
Susila (Memiliki moralitas yang tinggi)
Seorang pemimpin harus bermoral baik, berakhlak luhur. Pemimpin tidak boleh berbicara sembarangan, karena akan didengarkan oleh rakyatnya.
Madava (Berperilaku baik)
Pemimpin harus memberi contoh berbuat baik, sehingga rakyatnya akan meniru. Pemimpin yang berperilaku sewenang-wenang tidak akan disukai rakyatnya, kecuali orang-orang yang berperilaku sama dengannya.
Akodha (Tidak mudah marah)
Pemimpin harus sabar, tidak mudah marah apalagi pendendam. Pemimpin pasti mendapat banyak cobaan salah satunya dibenci oleh orang-orang tertentu. Maka pemimpin harus sabar tidak, tidak boleh terpancing emosinya.
Khanti (Sabar)
Sabar tidak hanya dalam hal menahan emosi, tetapi juga dalam melakukan sesuatu. Pemimpin harus tahu kapan waktu yang tepat untuk memutuskan sesuatu permasalahan. Maka dalam hal ini kesabaran sangat diperlukan.
Avirodhana (Tidak suka permusuhan)
Pemimpin pasti bekerja dengan banyak orang, yang tidak semuanya menyukainya. Maka pemimpin harus bisa menahan emosi untuk tidak membuka atau mempunyai permusuhan dengan siapapun.
Avihimsa (Berhati lembut)
Pemimpin pasti pernah menghadapi sebuah permasalahan, atau menghadapi sekelompok rakyat yang tidak suka dengan kepemimpinannya. Maka dalam menghadapi hal tersebut pemimpin diharapkan mempunyai hati lembut, tidak kejam pada rakyat yang kurang menyukai kepemimpinannya. Cari tahu permasalahannya kemudian putuskan seadil-adilnya.
Itulah sepuluh Dasa Darma Narendra atau sepuluh kebajikan bagi pemimpin. Seseorang yang nantinya menjadi pemimpin di Negeri ini hendaknya memperhatikan dengan benar bagaimana seharusnya sifat-sifat pemimpin yang baik. Bagaimana caranya? Buka kembali sejarah. Sejarah bangsa ini ibarat sebuah kisah yang sangat penuh dengan makna dan pembelajaran. Dari sejarah kelam hingga kejayaan pernah ada di bumi ini. Sekarang, para pemimpin dari tingkat paling rendah, mulai dari setiap orang yang hidup di Nusantara hingga presiden, marilah pelajari bagaimana menjadi pemimpin bagi diri kita sendiri, bagi keluarga, bagi orang lain, bagi rakyat, bagi negara dan bangsa, bagi alam, dan bagi jagat raya, karena itu semua akan menjadi tanggung jawab manusia kepada Gusti Ingkang Maha Agung.
Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad :“ Memuji dan menyanjung diri sendiri, membanggakan leluhur yang termasuk ahli agama dan orang-orang utama dan juga menyombongkan nasab, itu perbuatan tercela dan sangat buruk sekali. Banyak keturunan orang mulia yang tidak punya bashiroh dan tidak tahu hakikat agama, mendapat cobaan seperti ini. Barang siapa yang membanggakan nasab dan leluhurnya, seraya memandang rendah orang lain, maka dia akan kehilangan berkah leluhur” (Is’adur Rafiq, hal 85 ; Juz II)
Selasa, 01 Januari 2013
Trah Mangir : Hafidz Ammar anakku, Tidak Gampang Menjadi Pemimpin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar